Beranda | Artikel
Membicarakan Kesalahan Ulama
Minggu, 15 Desember 2024

Membicarakan Kesalahan Ulama adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Syarah Muqaddimah Shahih Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Kamis, 10 Jumadil Akhir 1446 H / 12 Desember 2024 M.

Kajian Islam Tentang Membicarakan Kesalahan Ulama

Pembahasan yang akan kita kaji bersama adalah mengenai membicarakan kekurangan orang lain. Secara umum, membicarakan kekurangan orang lain disebut ghibah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada para sahabat:

«أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟»، قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: «ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ»

“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Engkau menyebutkan sesuatu tentang saudaramu yang dia tidak suka.”

Ketika seseorang menyebutkan sifat atau kebiasaan yang tidak disukai oleh orang lain, meskipun itu benar, hal tersebut sudah termasuk ghibah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan tegas melarang ghibah, karena sering kali seseorang terjatuh dalam dosa ini hanya karena obrolan biasa, candaan, atau sekadar berbagi cerita. Bahkan, ironisnya, obrolan ghibah bisa terjadi setelah majelis ilmu yang membahas larangan ghibah itu sendiri.

Para ulama juga mengingatkan bahwa lidah, jika tidak digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat seperti berzikir kepada Allah, akan mudah terjatuh pada dosa ghibah. Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu pernah berkata:

ذِكْرُ اللهِ دَوَاءٌ وَذِكْرُ النَّاسِ دَاءٌ

“Mengingat Allah adalah obat, sementara mengingat manusia adalah penyakit.”

Dalam lanjutan hadits tadi, ada yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟

“Wahai Rasulullah, bagaimana jika apa yang aku katakan tentang saudaraku itu benar adanya?”

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:

إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Jika apa yang kamu katakan itu benar, maka kamu telah melakukan ghibah. Namun, jika tidak benar, berarti kamu telah memfitnahnya.” (HR. Muslim)

Ghibah lebih tercela lagi jika dilakukan terhadap orang yang memiliki ilmu, jasa besar dalam menyebarkan syariat, atau menjadi teladan yang baik bagi umat. Membicarakan keburukan mereka hanya menambah dosa dan membuat masalah semakin buruk.

Imam Nawawi rahimahullah, dalam penjelasan hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim, menyebutkan bahwa ghibah mencakup hal-hal yang tidak disukai oleh seseorang. Hal ini bisa berupa cara berbicara, cara berjalan, bentuk fisik, ciri khas tertentu dalam perilaku, aktivitas, atau bahkan masalah keluarga. Semua ini termasuk dalam kategori ghibah.

Mengenai ghibah terhadap ulama, Imam Ahmad rahimahullah berkata:

لُحُومُ الْعُلَمَاءِ مَسْمُومَةٌ، مَنْ شَمَّهَا مَرِضَ، وَمَنْ أَكَلَهَا مَاتَ

“Daging ulama itu beracun, siapa yang menciumnya akan sakit, dan siapa yang memakannya akan mati.”

Ghibah adalah perbuatan yang diibaratkan seperti memakan daging saudara sendiri. Meskipun demikian, ada beberapa kondisi di mana membicarakan kekurangan seseorang diperbolehkan jika tujuannya adalah memberikan manfaat bagi kaum muslimin. Misalnya, untuk mengingatkan suatu kesalahan agar tidak terus berlanjut dan tidak diikuti oleh orang lain.

Hakikatnya, membicarakan kesalahan dalam konteks seperti ini merupakan salah satu bentuk nasihat demi kebaikan bersama, baik untuk kaum muslimin secara umum maupun untuk orang yang bersangkutan. Contohnya, jika seseorang melakukan kesalahan dalam mengajarkan tata cara shalat, maka perlu dinasihati bahwa pendapatnya salah. Jika dia tetap bersikeras mempertahankan pendapatnya, padahal hadits yang digunakan lemah atau bermuara pada pendapat atau karena fanatik golongan, yang jelas ada kesalahan, maka diantara kebaikan seseorang adalah kaum muslimin perlu diperingatkan agar tidak mengikuti kesalahan tersebut.

Meskipun orang tersebut dikenal sebagai pribadi yang baik atau shalih, ketika dia memiliki kekeliruan, mengingatkan kesalahan itu demi kebaikan bersama adalah tindakan yang dibenarkan. Dengan demikian, kaum muslimin tidak ikut-ikutan salah sehingga dosa tidak bertambah.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa ada enam hal yang tidak dianggap sebagai dosa ghibah ketika menyebutkan kekurangan. Ghibah dalam enam kondisi ini tidak disalahkan, sebagaimana dijelaskan:

1. Orang yang menuntut keadilan
Orang ini melaporkan tindak kejahatan kepada pihak berwenang, seperti hakim atau aparat keamanan. Ia harus menyebutkan kesalahan atau kejahatan pelaku yang merugikannya agar masalahnya bisa diselesaikan. Hal ini diperbolehkan dan tidak termasuk ghibah.

2. Orang yang mengenalkan seseorang dengan ciri khasnya
Jika seseorang dikenali dengan ciri tertentu yang tidak dimiliki orang lain, misalnya pincang, buta, atau sifat lainnya, maka menyebutkan ciri tersebut untuk keperluan identifikasi diperbolehkan. Contohnya, Abdullah bin Zakwan yang dikenal dengan sebutan “si pincang” (al-A’raj), seorang periwayat dalam Shahih Bukhari. Namun, jika bisa dikenali tanpa menyebutkan kekurangan, maka tidak boleh lagi menyebut kekurangannya.

3. Orang yang memberikan peringatan
Ketika seseorang menyebarkan kesalahan atau keburukannya secara terang-terangan, kaum muslimin perlu diingatkan agar tidak mengikuti kesalahan tersebut. Hal ini termasuk bentuk kasih sayang terhadap sesama muslim, agar mereka tidak terjerumus ke dalam dosa yang sama.

4. Orang yang terang-terangan dalam kefasikan
Seseorang yang secara terbuka melakukan maksiat atau kefasikan dan tidak mau diingatkan, boleh disebutkan keburukannya. Contohnya, orang yang bermaksiat secara sembunyi-sembunyi tetapi kemudian menceritakan perbuatannya kepada orang lain. Menyebutkan keburukannya dalam kondisi seperti ini tidak dianggap ghibah.

5. Orang yang meminta fatwa
Orang yang meminta fatwa kepada seorang mufti boleh menyebutkan kejelekan pihak lain jika hal tersebut relevan dengan masalah yang ditanyakan. Sebagai contoh, istri Abu Sufyan pernah berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang pelit. Dia tidak memberiku nafkah yang cukup kecuali jika aku mengambil sebagian hartanya tanpa sepengetahuannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

6. Orang yang meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran
Orang yang melaporkan suatu kemungkaran, seperti kejahatan atau tindak kriminal, kepada pihak yang berwenang dengan menyebutkan kesalahan pelaku, tidak dianggap melakukan ghibah. Hal ini dilakukan demi tercapainya maslahat yang lebih besar.

Ghibah dalam kondisi-kondisi ini diperbolehkan karena tujuan utamanya adalah untuk memberikan manfaat atau mencegah kerugian yang lebih besar bagi kaum muslimin.

Membicarakan Kekurangan Ulama

Pembahasan kali ini adalah tentang membicarakan kekurangan para ulama. Ketika seorang ulama yang shalih, ahli ibadah, dan dijadikan panutan umat melakukan kesalahan yang fatal dalam periwayatan hadits, maka dampaknya sangat besar.

Jika meriwayatkan hadits dari orang yang tidak terpercaya, maka hadits itu salah. Bahkan, jika seseorang menyampaikan hadits lemah, ia bisa dianggap menisbatkan perkataan yang tidak diucapkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Imam Ahmad Rahimahullah pernah ditanya oleh seseorang, “Wahai Aba Abdillah, apa yang lebih Anda sukai, seseorang yang melakukan shalat, puasa, dan i’tikaf, atau seseorang yang membicarakan kesalahan pelaku bid’ah?”

Beliau menjawab:

إذَا قَامَ وَصَلَّى وَاعْتَكَفَ؛ فَإِنَّمَا هُوَ لِنَفْسِهِ، وَإِذَا تَكَلَّمَ فِي أَهْلِ الْبِدَعِ؛ فَإِنَّمَا هُوَ لِلْمُسْلِمِينَ، هَذَا أَفْضَلُ.

“Jika seseorang berdiri shalat dan beriktikaf, maka maslahatnya hanya untuk dirinya sendiri. Namun, jika ia membicarakan pelaku bid’ah, maka manfaatnya untuk kaum muslimin, dan hal ini lebih utama.”

Dari jawaban ini, Imam Ahmad menjelaskan bahwa membicarakan kesalahan seseorang dengan tujuan menghindarkan kaum muslimin dari kesalahan bukan termasuk ghibah yang dilarang. Sebaliknya, hal ini menjadi suatu maslahat yang lebih besar bagi umat.

Imam Muslim Rahimahullah dalam muqadimahnya menyebutkan sekitar 15 pendapat atau pernyataan dari para ulama tentang pentingnya menyebutkan kesalahan seorang yang meriwayatkan hadits. Hal ini sangat ditekankan oleh ulama ahli hadits karena dampaknya besar. Jika seseorang yang tidak terpercaya dari sisi agama meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka akibatnya akan fatal. Yaitu akan ada hadits yang dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, padahal beliau tidak pernah mengatakannya.

Meskipun kita tahu, sebagian ulama membolehkan beramal dengan hadits lemah dalam kondisi tertentu. Akan tetapi konsekuensinya berat, ketika seseorang mengatakan bahwa itu adalah hadits, sementara Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menyampaikan. Sehingga sebagian ulama ahli hadits -termasuk Imam Muslim- mengatakan bahwa menyampaikan hadits lemah tidak dibolehkan.

Perkataan Abdullah bin Mubarak

Salah satu riwayat yang menunjukkan pentingnya berhati-hati dalam periwayatan adalah apa yang disampaikan oleh Abdullah bin Mubarak Rahimahullah, seorang ulama ahli hadits yang wafat pada tahun 181 Hijriah. Beliau pernah menyampaikan di depan orang-orang:

“Tinggalkan hadits yang diriwayatkan oleh Amr bin Tsabit, karena dia mencela para ulama Salaf (para sahabat).”

Amr bin Tsabit dikenal sebagai perawi yang bermasalah. Para ulama ahli hadits seperti Imam Abu Dawud Rahimahullah menyebutnya sebagai رجل سوء (seorang yang jelek sekali), bahkan disebut sebagai رافضي خبيث (seorang Rafidhah yang sangat buruk). Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah juga mengatakan bahwa dia متروك (haditsnya dicampakkan). Bahkan sebelum itu, Imam An-Nasa’i Rahimahullah, yang wafat pada tahun 303 Hijriah menyebutkan dia متروك. Imam Ibnu Hibban rahimahullah, yang wafat pada tahun 354 Hijriah, menegaskan bahwa Amr bin Tsabit sering meriwayatkan hadits-hadits palsu.

Jika tidak ada peringatan seperti ini, kaum muslimin bisa terjerumus dalam pemahaman yang keliru akibat hadits-hadits palsu yang tersebar di masyarakat. Ini merupakan salah satu bentuk penyesatan dalam syariat.

Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54789-membicarakan-kesalahan-ulama/